HAK ANAK PEREMPUAN YANG TERAMPAS
Mata Kuliah Kesenjangan dan Eksklusi Sosial
Disusun Oleh :
Rizky Nur Pradhana S (155120101111011)
Bharliantina Tri H (155120107111032)
Secara global tercatat lebih dari 700 juta perempuan yang
hidup saat ini menikah sebelum usia 15 tahun atau ketika masih anak-anak. Di Indonesia, prevalensi pernikahan usia dini
atau anak telah mengalami penurunan lebih dari dua kali lipat dalam tiga dekade
terkahir ini. Namun, Indonesia masih merupakan salah satu negara yang tertinggi
dalam permasalahan pernikahan usia dini di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Sehingga masalah pernikahan usia dini dirasa masih pantas untuk dikaji dengan
tujuan untuk dapat memberikan sebuah solusi. Masalah pernikahan dini erat
kaitannya dengan masalah sosial ekonomi yang diperumit dengan tradisi dan
budaya kelompok masyarakatnya. Salah satu faktor terjadinya pernikahan dini adalah
pendidikan remaja dan pendidikan orang tua. Dalam kehidupan seseorang, dalam menyikapi
masalah dan membuat keputusan termasuk hal yang lebih kompleks ataupun kematangan
psikososialnya sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang (Sarwono,
2007 dalam (Desiyanti, 2015)).
Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI)
tahun 2007 dalam jurnal (Fadlyana & Larasaty, 2009) , di beberapa daerah
terlihat bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan terdata dilakukan oleh pasangan
dengan usia di bawah 16 tahun. Menurut Survey Sosial dan Ekonomi Sosial
(Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 dalam
jurnal (BPS dan UNICEF, 2016) memperlihatkan bahwa
di antara perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, 25 persen menyatakan bahwa
telah menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara menurut Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 17 persen
perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun menyatakan bahwa telah menikah sebelum
usia 18 tahun. Penelitian lain yang
dilakukan oleh BKKBN pada tahun 2014 (Salmah, 2016) menyatakan bahwa 46 persen atau setara
dengan 2,5 juta pernikahan yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia adalah
dengan mempelai perempuannya yang berusia antara 15-19 tahun, bahkan 5 persen
melibatakan perempuan yang berusia di bawah 15 tahun. Hal ini didukung lagi
dengan bukti pada tahun 2013 bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 103 dari
152 negara di seluruh dunia dalam indeks Pembangunan Gender Program Pembangunan
PBB. Indeks tersebut merupakan pencerminan atas ketidaksetaraan dalam
pencapaian hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki dalam tiga bidang
yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja.
Perlu kita ketahui definisi pernikahan menurut hukum yang
sudah ada di Indonesia. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan pada Bab II syarat-syarat perkawinan pasal 7 ayat 1
yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Maka, apabila menikah
di bawah ketentuan umur yang sudah ditetapkan dapat dikatakan sebagai
pernikahan dini atau pernikahan anak. Lebih jelasnya dalam jurnal (Fadlyana & Larasaty, 2009) pernikahan anak
didefinisikan sebagai sebuah pernikahan yang terjadi sebelum mencapai usia 18
tahun, di mana anak belum matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk
bertanggung jawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan nantinya.
Penjelasan sebelumnya memperlihatkan bahwa hak anak
khususnya anak perempuan akan menjadi taruhannya ketika pernikahan dini terus
dilanjutkan. Dilihat dari perbedaan penetapan usia minimum antara perempuan dan
laki-laki mencerminkan adanya diskriminasi dan merugikannya salah satu pihak
yaitu perempuan di mana nantinya anak perempuan akan lebih rentan terhadap
akibat buruk dari pernikahan dini. Dalam jurnal (BPS dan UNICEF, 2016) secara global menunjukkan
bahwa adanya jumlah yang tidak proporsional antara perempuan yaitu 720 juta dan
laki-laki 156 juta yang terkena dampak dari pernikahan usia anak atau
pernikahan dini. Berbicara tentang permasalahan kesehatan yang akan dialami
oleh anak perempuan ketika melakukan pernikahan dini adalah anatomi tubuh anak
yang sebenarnya belum siap untuk proses mengandung ataupun melahirkan. Apabila
hal tersebut terjadi maka akan terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric
fistula. Menurut jurnal (Fadlyana & Larasaty, 2009) fiscula merupakan
kerusakan yang terjadi pada organ kewanitaan yang mengakibatkan kebocoran urin
atau feses ke dalam vagina. Hal ini juga didukung dengan data dari UNPFA tahun
2003 dalam jurnal (Fadlyana & Larasaty, 2009) bahwa terlihat
sebanyak 15%-30% di antara persalinan di usia dini akan disertai dengan
komplikasi kronik yaitu obstetric fistula.
Lagi-lagi hal ini terjadi karena akibat dari adanya hubungan seksual yang
dilakukan di usia dini.
Pernikahan usia anak menurut penjelasan sebelumnya telah
memperlihatkan adanya pelanggaran terhadap hak anak perempuan, dimana menurut
Konvensi Hak Anak (KHA) setiap orang di bawah usia 18 tahun merupakan anak yang
berhak atas semua perlindungan sebagai anak. Hal ini berarti pada dasarnya
penikahan usia anak ini melanggar hak anak perempuan atas kesetaraan dan
sekaligus menghambat kemampuan anak perempuan untuk dapat hidup setara di dalam
masyarakat. Berikut merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh KHA yang
tercuri ketika pernikahan usia dini tetap berlangsung (BPS dan UNICEF, 2016) :
·
Hak
atas pendidikan, dengan adanya pernikahan usia anak berarti mendukung untuk mengingkari
hak anak memperoleh pendidikan, bermain, dan memenuhi potensi mereka.
·
Hak untuk
hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan (termasuk kekerasan seksual), di mana
pernikahan usia anak memberikan dampak kerentenan kepada anak perempuan
terhadap kekerasan fisik, seksual, dan mental.
·
Hak
atas kesehatan, maksudnya adalah dengan pernikahan usia anak akan memberikan
risiko cukup tinggi terhadap anak perempuan akan penyakit dan kematian
dikarenakan kehamilan dan persalinan dini.
·
Hak
untuk dilindungi dari eksploitasi. Pernikahan usia dini erat kaitannya dengan
pemaksaan tanpa memperdulikan kebutuhan dari anak itu sendiri.
·
Hak
untuk tidak dipisahkan dari orangtua mereka.
Pernikahan usia dini
erat kaitannya dengan kemiskinan dan pembangunan, dua hal ini menjadi fokus
kajian yang diperhatikan oleh Amartya Sen. Kemiskinan menurutnya merupakan kategori
deprivasi yang menyabang yang mengajak banyak entitas sosial terlibat di
dalamnya, seperti gender, agama, dan etnis. Kritik Sen terhadap pembangunan
yang hanya melirik pada pertumbuhan ekonomi semata bukanlah sesuatu hal yang
baik, justru alangkah baiknya juga mempertimbangkan pertumbuhan manusia.
Apabila melihat konsep kapabilitas, menurut Sen kebebasan seseorang untuk
memilih adalah dengan kapasitas dan kemampuan yang dapat dikontol oleh individu
itu sendiri.
Konsep kapabilitas
mencakup 3 aspek kunci yaitu kecukupan atas kebutuhan dasar, harga diri, serta
kebebasan dari sikap menghamba. Menurut Sen, pembangunan merupakan
proses di mana terjadinya negosiasi dan renegosiasi aturan sosial yang sedang
berjalan dengan tujuan untuk melindungi atau menambah kemerdekaan instrumental.
Hal ini berarti untuk mencapai pembangunan yang diharapkan, maka negara harus
meninjau kembali masalah kemiskinan agar permasalahan pernikahan usia anak yang
memiliki dampak secara langsung kepada anak perempuan khususnya dapat teratasi
atau bahkan dihentikan.
Referensi
BPS dan UNICEF. (2016). KEMAJUAN YANG TERTUNDA :
ANALISIS DATA PERKAWINAN USIA ANAK DI INDONESIA. Jakarta: Badan Pusat
Statistik, Jakarta-Indonesia .
Desiyanti, I. W. (2015). Fakor-Faktor yang Berhubungan
Terhadap Pernikahan Dini Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota
Manado. JIKMU, Vol 5, No. 2, 270-280.
Fadlyana, E., & Larasaty, S. (2009). Pernikahan Usia
Dini dan Permasalahannya. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, 136-140.
Salmah, S. (2016). Pernikahan Dini Ditinjau Dari Sudut
Pandang Sosial dan Pendidikan. Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol.
04 No. 07, 35-39.
Syarifah, S. (2016). Pernikahan Dini Ditinjau Dari Sudut
Pandang Sosial dan Pendidikan. Albiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol.
04 No. 07, 35-39.
Komentar
Posting Komentar